Peringatan
khusus bagi kaum laki-laki, jangan pernah mencoba mengganggu isteri
orang Madura. Bisa-bisa anda mati dicarok. Peringatan ini bukan
main-main, karena budaya carok memang ada dalam masyarakat Madura.
Menurut Dr. A. Latief Wiyata, pengajar Universitas Jember Jawa Timur carok adalah cermin budaya kekerasan orang Madura untuk mempertahankan harga dirinya. Pengertian carok sendiri adalah suatu tindakan atau upaya pembunuhan (karena ada kalanya berupa penganiayaan berat) menggunakan senjata tajam - pada umumnya clurit - yang dilakukan oleh orang laki-laki lain yang dianggap telah melakukan pelecehan harga diri (baik secara individu sebagai suami maupun secara kolektif yang mencakup kerabat atau keluarga ) terutama berkaitan dengan masalah kehormatan isteri sehingga membuat malo (malu).
"Lima unsur carok yakni tindakan atau upaya pembunuhan antar laki-laki, pelecehan harga diri terutama berkaitan kehormatan perempuan (isteri), perasaan malu, adanya dorongan, dukungan serta persetujuan sosial disertai perasaan puas dan perasaan bangga bagi pemenangnya," jelas Latief, salah seorang intelektual Madura dalam bukunya Carok, konflik kekerasan dan harga diri orang Madura.
Carok merupakan media kultural bagi pelaku yang berhasil mengalahkan musuhnya untuk memperoleh predikat sebagai oreng jago (jagoan) atau jika pelaku tersebut telah berpengalaman membunuh maka predikat sebagai oreng jago menjadi semakin tegas sehingga keberhasilan dalam carok selalu mendatangkan perasaan puas, lega dan bahkan bangga bagi pelakunya.
Latief yang menulis buku berdasarkan hasil penelitiannya di daerah Kabupaten Bangkalan menyimpulkan ada dua jenis carok yakni nyelep dan ngonggai. Nyelep adalah carok yang dilakukan dengan menyerang diam-diam. Sementara ngonggai adalah carok yang dilakukan dengan menantang langsung lawan secara ksatria.
Sisi lain carok adalah ia dianggap sebagai media kukltural bagi pelaku yang berhasil mengalahkan musuhnya untuk memperoleh predikat sebagai jagoan (oreng jago). Jika pelaku telah berpengalaman membunuh maka predikat sebagai jagoan menjadi semakin tegas sehingga keberhasilan dalam carok selalu mendatangkan perasaan puas, lega dan bahkan bangga bagi pelakunya. Pihak keluarga juga umumnya tidak memandang pelaku carok sebagai orang jahat melainkan sebagai pahlawan yang sudah berhasil memulihkan harga diri. "Para calon mertua juga biasanya lebih senang mendapatkan menantu yang sudah berpengalaman melakukan carok," jelas Latief lagi.
Meskipun semua pelaku carok menyerahkan diri kepada aparat kepolisian hal ini bukan berarti suatu tindakan yang bermakna kejantanan (sebagai pertanggungjawaban atas tindakannya). Upaya ini menurut Latief tidak lebih upaya untuk mendapatkan perlindungan dari aparat kepolisian terhadap serangan balasan keluarga musuhnya.
Sebagai perwujudan rasa bangga keluarga pada pelaku carok yang selamat, mereka biasanya melakukan upaya nabang. Latief menemukan upaya nabang adalah upaya mengumpulkan uang dari para anggota keluarga untuk dipakai menyuap aparat penegak hukum agar pelaku mendapatkan hukuman seminimal mungkin. "Dalam konteks ini, institusi kepolisian tidak lagi berperan sebagai pengayom masyarakat melainkan justru ikut terlibat atau membantu mendorong terjadinya carok," tegas Latief lagi.
Sementara itu John Bamba, Direktur Institut Dayakologi mintakan kekerasan itu berasal dari budaya yang sudah diterima sebagai suatu kewajaran. "Carok adalah buah ketidakadilan sejak zaman kolonial. Para penguasa tidak berhasil memberikan keadilan kepada masyarakat. Akibatnya masyarakat memilih sendiri keadilannya. Sehingga carok menjadi budaya," ungkap John.
Maraknya budaya carok di Pulau Madura menyebabkan sangat lumrah dijumpai laki-laki yang selalu berpergian membawa senjata (nyengkep). Apalagi mereka yang dianggap sebagai jagoan di desanya. Bila berpergian tanpa senjata tajam, seakan-akan ada sesuatu yang kurang dalam tubuh mereka. "Bahkan beberapa informan yang lain mengatakan bahwa senjata tajam yang selalu dibawa kemanapun mereka pergi dianggap sebagai kancana sholawat (teman sholawat). Bagi pemeluk Muslim memang dianjurkan untuk membaca sholawat setiap kesempatan, tidak terkecuali jika hendak berpergian," ungkap Latief lagi. Karenanya bila setiap saat terjadi carok maka seseorang sudah siap siaga.
Sikap ksatria yang sering didengung-dengungkan dalam carok, menurut Latief kini sudah bergesar. Para pelaku carok lebih suka nyelep daripada ngonggai. Mereka menjadi semakin membabi-buta dalam menghabisi lawan-lawan atau musuh-musuhnya tanpa mempedulikan apakah lawan-lawannya dalam keadaan siap atau tidak. "Kebiasaan melakukan carok dengan cara nyelep maka "etika" yang bermakna kejantanan bergeser menjadi brutalisme dan egoisme," kritik Latief.
Secara kultural kenyataan ini justeru merupakan sisi hitam dari kebudayaan Madura. Padahal menurut Latief, orang Madura juga memiliki nilai-nilai budaya yang berkaitan dengan kehidupan penuh harmoni sebagaimana tercermin dalam ungkapan: rampa' naong, baringen korong (suasana teduh penuh kedamaian layaknya berada di bawah pohon beringin yang rindang).-Erma S. Ranik-
Menurut Dr. A. Latief Wiyata, pengajar Universitas Jember Jawa Timur carok adalah cermin budaya kekerasan orang Madura untuk mempertahankan harga dirinya. Pengertian carok sendiri adalah suatu tindakan atau upaya pembunuhan (karena ada kalanya berupa penganiayaan berat) menggunakan senjata tajam - pada umumnya clurit - yang dilakukan oleh orang laki-laki lain yang dianggap telah melakukan pelecehan harga diri (baik secara individu sebagai suami maupun secara kolektif yang mencakup kerabat atau keluarga ) terutama berkaitan dengan masalah kehormatan isteri sehingga membuat malo (malu).
"Lima unsur carok yakni tindakan atau upaya pembunuhan antar laki-laki, pelecehan harga diri terutama berkaitan kehormatan perempuan (isteri), perasaan malu, adanya dorongan, dukungan serta persetujuan sosial disertai perasaan puas dan perasaan bangga bagi pemenangnya," jelas Latief, salah seorang intelektual Madura dalam bukunya Carok, konflik kekerasan dan harga diri orang Madura.
Carok merupakan media kultural bagi pelaku yang berhasil mengalahkan musuhnya untuk memperoleh predikat sebagai oreng jago (jagoan) atau jika pelaku tersebut telah berpengalaman membunuh maka predikat sebagai oreng jago menjadi semakin tegas sehingga keberhasilan dalam carok selalu mendatangkan perasaan puas, lega dan bahkan bangga bagi pelakunya.
Latief yang menulis buku berdasarkan hasil penelitiannya di daerah Kabupaten Bangkalan menyimpulkan ada dua jenis carok yakni nyelep dan ngonggai. Nyelep adalah carok yang dilakukan dengan menyerang diam-diam. Sementara ngonggai adalah carok yang dilakukan dengan menantang langsung lawan secara ksatria.
Sisi lain carok adalah ia dianggap sebagai media kukltural bagi pelaku yang berhasil mengalahkan musuhnya untuk memperoleh predikat sebagai jagoan (oreng jago). Jika pelaku telah berpengalaman membunuh maka predikat sebagai jagoan menjadi semakin tegas sehingga keberhasilan dalam carok selalu mendatangkan perasaan puas, lega dan bahkan bangga bagi pelakunya. Pihak keluarga juga umumnya tidak memandang pelaku carok sebagai orang jahat melainkan sebagai pahlawan yang sudah berhasil memulihkan harga diri. "Para calon mertua juga biasanya lebih senang mendapatkan menantu yang sudah berpengalaman melakukan carok," jelas Latief lagi.
Meskipun semua pelaku carok menyerahkan diri kepada aparat kepolisian hal ini bukan berarti suatu tindakan yang bermakna kejantanan (sebagai pertanggungjawaban atas tindakannya). Upaya ini menurut Latief tidak lebih upaya untuk mendapatkan perlindungan dari aparat kepolisian terhadap serangan balasan keluarga musuhnya.
Sebagai perwujudan rasa bangga keluarga pada pelaku carok yang selamat, mereka biasanya melakukan upaya nabang. Latief menemukan upaya nabang adalah upaya mengumpulkan uang dari para anggota keluarga untuk dipakai menyuap aparat penegak hukum agar pelaku mendapatkan hukuman seminimal mungkin. "Dalam konteks ini, institusi kepolisian tidak lagi berperan sebagai pengayom masyarakat melainkan justru ikut terlibat atau membantu mendorong terjadinya carok," tegas Latief lagi.
Sementara itu John Bamba, Direktur Institut Dayakologi mintakan kekerasan itu berasal dari budaya yang sudah diterima sebagai suatu kewajaran. "Carok adalah buah ketidakadilan sejak zaman kolonial. Para penguasa tidak berhasil memberikan keadilan kepada masyarakat. Akibatnya masyarakat memilih sendiri keadilannya. Sehingga carok menjadi budaya," ungkap John.
Maraknya budaya carok di Pulau Madura menyebabkan sangat lumrah dijumpai laki-laki yang selalu berpergian membawa senjata (nyengkep). Apalagi mereka yang dianggap sebagai jagoan di desanya. Bila berpergian tanpa senjata tajam, seakan-akan ada sesuatu yang kurang dalam tubuh mereka. "Bahkan beberapa informan yang lain mengatakan bahwa senjata tajam yang selalu dibawa kemanapun mereka pergi dianggap sebagai kancana sholawat (teman sholawat). Bagi pemeluk Muslim memang dianjurkan untuk membaca sholawat setiap kesempatan, tidak terkecuali jika hendak berpergian," ungkap Latief lagi. Karenanya bila setiap saat terjadi carok maka seseorang sudah siap siaga.
Sikap ksatria yang sering didengung-dengungkan dalam carok, menurut Latief kini sudah bergesar. Para pelaku carok lebih suka nyelep daripada ngonggai. Mereka menjadi semakin membabi-buta dalam menghabisi lawan-lawan atau musuh-musuhnya tanpa mempedulikan apakah lawan-lawannya dalam keadaan siap atau tidak. "Kebiasaan melakukan carok dengan cara nyelep maka "etika" yang bermakna kejantanan bergeser menjadi brutalisme dan egoisme," kritik Latief.
Secara kultural kenyataan ini justeru merupakan sisi hitam dari kebudayaan Madura. Padahal menurut Latief, orang Madura juga memiliki nilai-nilai budaya yang berkaitan dengan kehidupan penuh harmoni sebagaimana tercermin dalam ungkapan: rampa' naong, baringen korong (suasana teduh penuh kedamaian layaknya berada di bawah pohon beringin yang rindang).-Erma S. Ranik-
sumber : http://wiyatablog.blogspot.com/
http://gilasih.blogspot.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar