Banyak orang yang takut ketika bertemu dengan orang-orang Madura,
mereka beranggapan bahwa orang Madura sangat keras, sangar, dan
pemberani. Anggapan ini berawal dari tradisi yang sangat terkenal di
Madura yaitu “Carok”. Peristiwa ini terjadi apabila seseorang
bersitegang dengan orang lain. Karena prinsip orang Madura itu “Ango’ pote Tolang etembheng pote Matah”,
yang artinya lebih baik putih tulang dari pada putih mata, makna dari
kalimat ini adalah lebih baik mati dari pada harus menanggung malu.
Prinsip inilah yang membuat orang Madura tempramental, karena mereka
tidak mau malu di depan orang, jika mereka di buat malu pasti mereka
akan sangat marah, sampai akhirnya bersitegang dan akhirnya “Carok”.
Menelusuri Sejarah Carok dan Celurit Carok dan celurit laksana dua
sisi mata uang. Satu sama lain tak bisa dipisahkan. Hal ini muncul di
kalangan orang-orang Madura sejak zaman penjajahan Belanda abad 18 M.
Carok merupakan simbol kesatria dalam memperjuangkan harga diri
(kehormatan). PADA zaman Cakraningrat, Joko Tole dan Panembahan Semolo
di Madura, tidak mengenal budaya tersebut.
Budaya yang ada waktu itu adalah membunuh orang secara kesatria dengan menggunakan pedang atau keris. Senjata celurit mulai muncul
pada zaman legenda Pak Sakera. Mandor tebu dari Pasuruan ini hampir tak
pernah meninggalkan celurit setiap pergi ke kebun untuk mengawasi para
pekerja. Celurit bagi Sakera merupakan simbol perlawanan rakyat jelata.
Lantas apa hubungannya dengan carok? Carok dalam bahasa Kawi kuno
artinya perkelahian. Biasanya melibatkan dua orang atau dua keluarga
besar. Bahkan antar penduduk sebuah desa di Bangkalan, Sampang, dan
Pamekasan. Pemicu dari carok ini berupa perebutan kedudukan di keraton,
perselingkuhan, rebutan tanah, bisa juga dendam turun-temurun selama
bertahun-tahun.Pada abad ke-12 M, zaman kerajaan Madura saat dipimpin
Prabu Cakraningrat dan abad 14 di bawah pemerintahan Joko Tole, istilah
carok belum dikenal. Bahkan pada masa pemerintahan Penembahan Semolo,
putra dari Bindara Saud putra Sunan Kudus di abad ke-17 M tidak ada
istilah carok.Munculnya budaya carok di pulau Madura bermula pada zaman
penjajahan Belanda, yaitu pada abad ke-18 M. Setelah Pak Sakerah
tertangkap dan dihukum gantung di Pasuruan, Jawa Timur, orang-orang
bawah mulai berani melakukan perlawanan pada penindas. Senjatanya adalah
celurit.
Saat itulah timbul keberanian melakukan perlawanan.Namun, pada masa
itu mereka tidak menyadari, kalau dihasut oleh Belanda. Mereka diadu
dengan golongan keluarga Blater (jagoan) yang menjadi kaki tangan
penjajah Belanda, yang juga sesama bangsa. Karena provokasi Belanda
itulah, golongan blater yang seringkali melakukan carok pada masa itu.
Pada saat carok mereka tidak menggunakan senjata pedang atau keris
sebagaimana yang dilakukan masyarakat Madura zaman dahulu, akan tetapi
menggunakan celurit sebagai senjata andalannya.Senjata celurit ini
sengaja diberikan Belanda kepada kaum blater dengan tujuan merusak citra
Pak Sakera sebagai pemilik sah senjata tersebut. Karena beliau adalah
seorang pemberontak dari kalangan santri dan seorang muslim yang taat
menjalankan agama Islam.
Celurit digunakan Sakera sebagai simbol perlawanan rakyat jelata
terhadap penjajah Belanda. Sedangkan bagi Belanda, celurit disimbolkan
sebagai senjata para jagoan dan penjahat.Upaya Belanda tersebut rupanya
berhasil merasuki sebagian masyarakat Madura dan menjadi filsafat
hidupnya. Bahwa kalau ada persoalan, perselingkuhan, perebutan tanah,
dan sebagainya selalu menggunakan kebijakan dengan jalan carok.
Alasannya adalah demi menjunjung harga diri. Istilahnya, daripada putih
mata lebih baik putih tulang. Artinya, lebih baik mati berkalang tanah
daripada menanggung malu. Tidak heran jika terjadi persoalan
perselingkuhan dan perebutan tanah di Madura maupun pada keturunan orang
Madura di Jawa dan Kalimantan selalu diselesaikan dengan jalan carok
perorangan maupun secara massal. Senjata yang digunakan selalu celurit.
Begitu pula saat melakukan aksi kejahatan, juga menggunakan
celurit.Kondisi semacam itu akhirnya, masyarakat Jawa, Kalimantan,
Sumatra, Irian Jaya, Sulawesi mengecap orang Madura suka carok, kasar,
sok jagoan, bersuara keras, suka cerai, tidak tahu sopan santun, dan
kalau membunuh orang menggunakan celurit. Padahal sebenarnya tidak semua
masyarakat Madura demikian.
Masyarakat Madura yang memiliki sikap halus, tahu sopan santun,
berkata lembut, tidak suka bercerai, tidak suka bertengkar, tanpa
menggunakan senjata celurit, dan sebagainya adalah dari kalangan
masyarakat santri. Mereka ini keturunan orang-orang yang zaman dahulu
bertujuan melawan penjajah Belanda.Setelah sekian tahun penjajah Belanda
meninggalkan pulau Madura, budaya carok dan menggunakan celurit untuk
menghabisi lawannya masih tetap ada, baik itu di Bangkalan, Sampang,
maupun Pamekasan. Mereka mengira budaya tersebut hasil ciptaan
leluhurnya, tidak menyadari bila hasil rekayasa penjajah Belanda.
sebagian mengutip dari: http://singalodaya.wordpress.com
sumber : http://plat-m.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar