Mengamalkan
doa-doa, hizib dan memakai azimat pada dasanya tidak lepas dari ikhtiar
atau usaha seorang hamba, yang dilakukan dalam bentuk doa kepada Allah
SWT. Jadi sebenanya, membaca hizib, dan memakai azimat, tidak lebih
sebagai salah satu bentuk doa kepada Allah SWT. Dan Allah SWT sangat
menganjurkan seorang hamba untuk berdoa kepada-Nya. Allah SWT berfirman:
اُدْعُوْنِيْ أَسْتَجِبْ لَكُمْ
‘Berdoalah kamu, niscya Aku akan mengabulkannya untukmu. (QS al-Mu’min: 60)
Ada beberapa dalil dari hadits Nabi yang menjelaskan kebolehan ini. Di antaranya adalah:
عَنْ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ الأشْجَعِي،
قَالَ:” كُنَّا نَرْقِيْ فِيْ الجَاهِلِيَّةِ، فَقُلْنَا: يَا رَسُوْلَ
اللهِ كَيْفَ تَرَى فِي ذَلِكَ؟ فَقَالَ: اعْرِضُوْا عَلَيّ رُقَاكُمْ، لَا
بَأْسَ بِالرُّقَى مَا لَمْ يَكُنْ فِيْهِ شِرْكٌ
Dari Auf bin Malik al-Asja’i, ia meriwayatkan bahwa pada zaman Jahiliyah, kita selalu membuat azimat (dan semacamnya). Lalu kami bertanya kepada Rasulullah, bagaimana pendapatmu (ya Rasul) tentang hal itu. Rasul menjawab, ”Coba tunjukkan azimatmu itu padaku. Membuat azimat tidak apa-apa selama di dalamnya tidak terkandung kesyirikan.” (HR Muslim [4079]).
Dari Auf bin Malik al-Asja’i, ia meriwayatkan bahwa pada zaman Jahiliyah, kita selalu membuat azimat (dan semacamnya). Lalu kami bertanya kepada Rasulullah, bagaimana pendapatmu (ya Rasul) tentang hal itu. Rasul menjawab, ”Coba tunjukkan azimatmu itu padaku. Membuat azimat tidak apa-apa selama di dalamnya tidak terkandung kesyirikan.” (HR Muslim [4079]).
Dalam At-Thibb an-Nabawi, al-Hafizh al-Dzahabi menyitir sebuah hadits:
Dari Abdullah bin Umar, bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda, ”Apabila salah satu di antara kamu bangun tidur, maka bacalah (bacaan yang artinya) Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah SWT yang sempurna dari kemurkaan dan siksaan-Nya, dari perbuatan jelek yang dilakukan hamba-Nya, dari godaan syetan serta dari kedatangannya padaku. Maka syetan itu tidak akan dapat membahayakan orang tersebut.” Abdullah bin Umar mengajarkan bacaan tersebut kepada anakanaknya yang baligh. Sedangkan yang belum baligh, ia menulisnya pada secarik kertas, kemudian digantungkan di lehernya. (At-Thibb an-Nabawi, hal 167).
Dari Abdullah bin Umar, bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda, ”Apabila salah satu di antara kamu bangun tidur, maka bacalah (bacaan yang artinya) Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah SWT yang sempurna dari kemurkaan dan siksaan-Nya, dari perbuatan jelek yang dilakukan hamba-Nya, dari godaan syetan serta dari kedatangannya padaku. Maka syetan itu tidak akan dapat membahayakan orang tersebut.” Abdullah bin Umar mengajarkan bacaan tersebut kepada anakanaknya yang baligh. Sedangkan yang belum baligh, ia menulisnya pada secarik kertas, kemudian digantungkan di lehernya. (At-Thibb an-Nabawi, hal 167).
Dengan demikian, hizib atau azimat dapat dibenarkan dalam agama
Islam. Memang ada hadits yang secara tekstual mengindikasikan keharaman
meoggunakan azimat, misalnya:
عَنْ عَبْدِ اللهِ قاَلَ سَمِعْتُ
رَسُوْلَ اللهِ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إنَّ الرُّقًى
وَالتَّمَائِمَ وَالتَّوَالَةَ شِرْكٌ
Dari Abdullah, ia berkata, Saya mendengar Rasulullah SAW
bersabda, “’Sesungguhnya hizib, azimat dan pelet, adalah perbuatan
syirik.” (HR Ahmad [3385]).
Mengomentari hadits ini, Ibnu Hajar, salah seorang pakar ilmu hadits kenamaan, serta para ulama yang lain mengatakan:
“Keharaman yang terdapat dalam hadits itu, atau hadits yang lain,
adalah apabila yang digantungkan itu tidak mengandung Al-Qur’an atau
yang semisalnya. Apabila yang digantungkan itu berupa dzikir kepada
Allah SWT, maka larangan itu tidak berlaku. Karena hal itu digunakan
untuk mengambil barokah serta minta perlindungan dengan Nama Allah SWT, atau dzikir kepado-Nya.” (Faidhul Qadir, juz 6 hal 180-181)
lnilah dasar kebolehan membuat dan menggunakan amalan, hizib serta
azimat. Karena itulah para ulama salaf semisal Imam Ahmad bin Hanbal dan
Ibnu Taimiyyah juga membuat azimat.
A-Marruzi berkata, ”Seorang perempuan mengadu kepada Abi Abdillah
Ahmad bin Hanbal bahwa ia selalu gelisah apabila seorang diri di
rumahnya. Kemudian Imam Ahmad bin Hanbal menulis dengan tangannya
sendiri, basmalah, surat al-Fatihah dan mu’awwidzatain (surat
al-Falaq dan an-Nas).” Al-Marrudzi juga menceritakan tentang Abu
Abdillah yang menulis untuk orang yang sakit panas, basmalah, bismillah wa billah wa Muthammad Rasulullah, QS. al-Anbiya: 69-70, Allahumma rabbi jibrila dst.
Abu Dawud menceritakan, “Saya melihat azimat yang dibungkus kulit di
leher anak Abi Abdillah yang masih kecil.” Syaikh Taqiyuddin Ibnu
Taimiyah menulis QS Hud: 44 di dahinya orang yang mimisan (keluar darah
dati hidungnya), dst.” (Al-Adab asy-Syar’iyyah wal Minah al-Mar’iyyah, juz II hal 307-310)
Namun tidak semua doa-doa dan azimat dapat dibenarkan. Setidaknya, ada tiga ketentuan yang harus diperhatikan.
1. Harus menggunakan Kalam Allah SWT, Sifat Allah, Asma Allah SWT ataupun sabda Rasulullah SAW
2. Menggunakan bahasa Arab ataupun bahasa lain yang dapat dipahami maknanya.
3. Tertanam keyakinan bahwa ruqyah itu tidak dapat memberi
pengaruh apapun, tapi (apa yang diinginkan dapat terwujud) hanya karena
takdir Allah SWT. Sedangkan doa dan azimat itu hanya sebagai salah satu
sebab saja.” (Al-Ilaj bir-Ruqa minal Kitab was Sunnah, hal 82-83).
KH Muhyiddin Abdusshomad
Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Islam, Ketua PCNU Jember
Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Islam, Ketua PCNU Jember
sumber : http://blog.its.ac.id/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar