Beduk adalah alat yang dipakai  oleh kelompok Islam bermazhab di Nusantara untuk menandai masuknya waktu  sembahyang. Sejak Islam datang ke Nusantara bedug sudah dipakai di  hampir seluruh masjid, sehingga biasa dijadikan tanda bagi para kelana  akan adanya sebuah desa. (Lihat Centini). Belum diketahuai asal usul  alat ini, ada yang memperkirakan dari Cina, atau India, tetapi ada yang  merupakan kreativitas asli Nusantara. 
 (Link Sponsor) :           
Dari China
_________________________________________________________
Bedug senantiasa dikaitkan dengan  media panggil peribadatan. Ada pendapat tradisi bedug dikaitkan dengan  budaya Cina. Adanya Bedug dikaitkan dengan ekspedisi pasukan Cheng Ho  abad ke-15. Laksamana utusan kekaisaran Ming yang Muslim itu  menginginkan suara bedug di masjid-masjid, seperti halnya penggunaan  alat serupa di kuil-kuil Budha di Cina. Ada pula pendapat bedug berasal  dari tradisi drum Cina yang menyebar ke Asia Timur, kemudian masuk  Nusantara. 
Asli Warisan Nusantara
_____________________________________________________
Namun menurut Drs M Dwi Cahyono,  arkeolog dari Universitas Negeri Malang yang melakukan studi bedug di  Jawa bersama tim Sampoerna Hijau, pada masa prasejarah, nenek moyang  kita juga sudah mengenal nekara dan moko, sejenis genderang dari  perunggu. Pemakaiannya berhubungan dengan religi minta hujan. 
Kata Bedug juga sudah disinggung  dalam kidung Malat, sebuah karya sastra berbentuk kidung. Susastra  kidung berisi cerita-cerita panji. Umunya ditulis pada zaman Mahapahit,  dari kurun waktu abad ke 14-16 Masehi. Dalam Kidung Malat dijelaskan,  instrumen musik membrafaon bedug dibedakan antara bedug besar yang  diberi nama teg-teg dengan bedug ukuran biasa. 
Bedug pada masa itu berfungsi  sebagai alat komunikasi dan penanda waktu seperti perang, bencana alam,  atau hal mendesak lainnya. Dibunyikan pula untuk menandai tibanya waktu.  Maka ada istilah dalam bahasa Jawa: wis wanci keteg. Artinya ”sudah  waktu siang” yang diambil dari waktu saat tegteg dibunyikan. 
Cornelis De Houtman dalam catatan  perjalanannya D’eerste Boek menjadi saksi keberadaan bedug yang sudah  meluas pada abad ke-16. Ketika komandan ekspedisi Belanda itu tiba di  Banten, ia menggambarkan di setiap perempatan jalan terdapat genderang  yang digantung dan dibunyikan memakai tongkat pemukul yang ditempatkan  di sebelahnya. Fungsinya sebagai tanda bahaya dan penanda waktu.  Kesaksian ini jelas menunjuk pada bedug. 
Kendati demikian, pengaruh Cina  pun tidak dinafikan. Ditilik dari sisi konstruksi, teknik pemasangan  tali/pasak untuk merekatkan selaput getar ke resonator pada bedug Jawa,  mirip pada cara yang digunakan pada bedug di Asia Timur seperti Jepang,  Cina, atau Korea. Bukti lain terlihat pada penampilan arca terakota yang  ditemukan di situs Trowulan. Arca-arca prajurit berwajah Mongoloid itu  tampak menabuh tabang-tabang, sejenis genderang yang terpengaruh budaya  timur tengah. Kemungkinannya itulah instrumen musik yang dimainkan  orang-orang Cina Muslim di ibukota Majapahit. 
Menariknya, tabang-tabang  sebenarnya merupakan instrumen musik yang sudah ada sejak masa  Hindu-Budha. Di dalamnya ada pengaruh kuat dari India dan budaya Semit  beragama Islam. Namun diperkenalkan dan dimainkan oleh masyarakat Cina  Muslim. 
Jadi, bedug bisa dikatakan contoh  perwujudan akulturasi budaya waditra (instrumen musik membrafon, di  mana secara fisiografis terjadi perpaduan antara waditra membrafon etnik  Nusantara dengan wadistra sejenis dari luar seperti India, Cina, dan  Timur Tengah. 
sumber : http://tanbihun.com 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar